GEMBIRA DALAM DERITA

     By. Rm. Januar Kado, Pr

Saya teringat akan seorang bapak di paroki tempat saya bertugas. Keadaan strokenya sangat parah sehingga ia tampak tak berdaya sama sekali. Badannya kaku hampir tidak dapat digerakkan dan yang dapat dilakukannya hanyalah duduk di sebuah kursi, sepanjang siang dan pada malam hari dia terbaring kaku di atas tempat tidur. Jika orang hendak mengunjunginya, ia bahkan tidak dapat memutarkan kepalanya untuk mengadakan kontak mata.
    Bilamana saya datang mengunjunginya tuk memberikan komuni kudus, saya selalu menyapa, “Hallo bapak, apa kabar hari ini ?”
            Dan jawabannya pun selalu sama, “Baik-baik saja, Romo. Terimakasih !”
            Mulanya, di lubuk hatiku ada keinginan bahwa setiap kali saya berbicara kepadanya, saya sebenarnya hendak mengatakan “Bukan hanya kamu yang mengalami penderitaan, tapi saya juga banyak mengalami hal buruk di dalam melaksanakan tugas-tugasku sebagai seorang imam”. Tetapi setelah menyaksikan orang ini menderita dan menjawab pertanyaan saya dengan begitu riang, saya akhirnya lupa dengan apa yang saya alami dan muncul suatu makna baru dalam hatiku bahwa semuanya harus dihadapi dengan senyum gembira. Akhirnya setiap kali selesai melayani komuni kudus untuknya, saya selalu meninggalkan rumahnya dengan penuh kegembiraan.

Refleksi : Tobit 2 : 10-23

            Kitab suci tidak kurang bercerita tentang orang yang menderita dan sedih. Tetapi dalam kesedihannya, mereka mengangkat doa pada Tuhan dan Tuhan pun mendengarkan keluh-kesah hati mereka.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan setiap insan manusia tanpa terkecuali. Dan Tobit orang saleh dalam Kitab Suci yang hidup dalam pembuangan, yang begitu setia kepada Tuhan dan berbuat baik pada sesama pun juga mengalami apa yang dinamakan penderitaan. Penderitaannya begitu luar biasa. Ia terpaksa harus melarikan diri, kehilangan harta bendanya, dan tertimpa sakit lalu menjadi buta. Sampai-sampai isterinya pun mengutuk dia karena sudah tidak lagi mengerti hubungan antara kesalehan dan penderitaan. Isterinya tidak mendugai Penyelenggaraan Ilahi yang sedang berjalan. Kadang kita pun ingin cepat mendapat hasil dari doa, kesalehan, perbuatan amal, dan tidak lagi memperdulikan kebenaran bahwa doa yang paling berkenan kepada Tuhan ialah penyerahan diri tanpa pamrih. Dan Tobit adalah contoh bagaimana belajar setia dan berkanjang pada Tuhan dalam penderitaan.
            Tobit tidak memberontak, tetapi sabar mengakui dosa yang ada pada dirinya dan pada bangsanya, serta sabar menyerahkan segalanya pada bimbingan Tuhan. Dengan demikian ia membiarkan Tuhan yang bekerja di dalam dirinya dan mengatur hidupnya sesuai rencana Penyelenggaraan Ilahi yang maha agung, luhur dan bijaksana. Karena itu, Tobit tetap percaya, sabar penuh harapan dan setia berkanjang, meski menurut pandangan umum ini tak masuk akal karena Tuhan rupanya tak kunjung datang menolong umat-Nya.
            Seperti dalam kisah Tobit, Penyelenggaraan Tuhan kadang-kadang berjalan berliku-liku tapi kita harus menanti dengan percaya, tetap setia berkanjang pada kebenaran meski nampak ditertawakan nasib karena Tuhan tahu yang terbaik untuk kita yang setia kepada-Nya, dengan mengatur jalan hidup kita menjadi keselamatan dan kebahagiaan.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts Widget